Mao tanya. Sepertinya berhubungan dengan thread ini nih
Sola Scriptura kan dedengkot nya Om Martin Luther. Kmrn pas lagi di katakumen saya dibilang awal kenapa berdiri Protestan. Dan setau saya dan yang sekilas dah saya baca di katolisitas.org
1. Kata katekis saya Martin Luther di excomunication (salah kayanya ejaan saya) karena melawan paus. Jadi mao ga mao dia buat deh aliran baru
2. Dia nulis 95 keberatan atau thesis yang sudah dijawab ya kalau tidak salah ama Paus wkt itu, apakah karena itu dia dianggap melawan?
3. Teman saya bilang begini ketika saya mengutip kata2 Cardinal Newman yang bilang ” Untuk belajar sejarah berarti untuk berhenti jadi Protestan”. Dia bilang Si Martin Luther tau sejarah kok, dia Imam Katolik, kalau dia sampe mao pisah pasti ada sesuatu di sejarah itu. Saya jadi penasaran Martin Luther itu dikeluarin dari Gereja Katolik atau keluar sendiri atas insiatif sendiri atau kaya diusir secara halus (Exckomunikasi) jadinya keluar?
Terima kasih. Walau saya harusnya tanya ke pihak Protestan. Tp saya ngeliat Katolisitas cukup netral. Jadi saya tanya di sini. Tq
Jawaban:
Shalom
Berikut ini adalah informasi yang dapat kami sampaikan sehubungan dengan pertanyaan anda:
1. Ekskomunikasi menyebabkan Luther tidak punya pilihan selain membuat aliran baru?
Pertama- tama, yang perlu diketahui adalah sangsi ekskomunikasi diberikan pertama- tama sebagai langkah sangsi yang menyembuhkan, dan bukan agar seseorang dapat membuat aliran baru. Dengan dinyatakannya bahwa status orang yang bersangkutan berada di luar Gereja (
ex, artinya di luar,
communion artinya persekutuan), maka orang itu dapat merenungkan pelanggarannya, dan suatu saat ia dapat kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Tentang ekskomunikasi sudah pernah dibahas di sini,
silakan klik.
Berikut ini adalah informasi yang saya sarikan dari berbagai sumber, terutama dari link New Advent Encyclopedia, selengkapnya
silakan klik di sini:
Martin Luther menerima hukuman ekskomunikasi dari Paus Leo X melalui bulla
Decet Romanum Pontificem pada tanggal 3 Januari 1521. Langkah tersebut diambil oleh Paus setelah berbagai upaya rekonsiliasi dengan Luther tidak berhasil. Paus melalui bulla
Exsurge Domine (15 Juni 1520,
klik di sini) meminta Luther untuk menarik 41 pernyataannya yang salah, yang dinyatakan Luther dalam 95 theses dan tulisan- tulisannya yang lain. Luther diberi waktu enam puluh hari untuk menarik tulisannya, tetapi Luther menolaknya dengan membakar bulla tersebut.
Keputusan ini merupakan keputusan akhir Luther dari pernyataan- pernyataannya yang berubah- ubah: 1) Pada tanggal 3 Maret 1519, saat menulis kepada Paus Leo X: “Di hadapan Tuhan dan mahluk ciptaan-Nya, aku memberikan kesaksian bahwa saya tidak telah berniat ataupun kini berniat untuk menyentuh atau dengan intrik merendahkan otoritas Gereja Roma dan terhadap kekudusanmu.” (De Wette, op.cit, I, 239) 2) Dalam tulisannya kepada Spalatin tanggal 5 Maret 1519: “Bukan maksud saya untuk memberontak terhadap tahta Apostolik di Roma”; 3) Namun 10 hari kemudian tanggal 13 Maret, ia menulis, “Saya tidak tahu apakah Paus adalah antikristus atau rasul-Nya.” (De Wette, op. cit., I, 239).
Sebenarnya pihak otoritas Gereja Katolik telah beberapa kali memperingatkan Luther untuk berhenti mempublikasikan teorinya, sebelum sangsi ekskomunikasi diberikan. Di tahun 1518, Luther menulis tentang “Kotbah tentang Indulgensi dan Rahmat” dan pembelaan tentang ke 95 thesesnya dalam “Resolutiones” yang sampai ke Uskup Scultetus. Uskup kemudian memperingatkan Luther untuk tidak melanjutkan publikasinya, karena ajaran itu tidak sesuai dengan ajaran Gereja. Pada saat itu Luther setuju. Namun keadaan berubah, setelah keterlibatan Johann Eck, seorang pakar teologi dari Universitas Ingoldsadt. Eck diberi tugas oleh Uskup von Eyb untuk memeriksa theses yang dibuat Luther, dan Eck menyebutkan bahwa 18 butir di antaranya mengandung ajaran sesat/ heresi (seperti ajaran Jan Huss), melanggar kasih Kristiani, merendahkan order hirarki Gereja dan menghasilkan pemberontakan. Hal ini disebutkan dalam suatu manuskrip yang disebut “Obelisci”, yang disampaikan kepada Bapa Uskup, dan beredar di kalangan sendiri, tidak dipublikasikan. Namun manuskrip ini sampai ke tangan Luther, dan Luther menjadi sangat marah. Lalu Eck menulis kepada Luther untuk menjelaskan duduk perkaranya, dan agar Luther tidak marah dan tidak membawa hal ini menjadi pertentangan publik, entah melalui kuliah atau melalui tulisan. Namun Luther malah mengeluarkan tulisan “Asterici” (10 Augustus, 1518) yang menyebabkan pertentangan publik di Leipzig.
Dalam keadaan ini, Paus memanggil Luther untuk datang ke Roma, namun Luther menolak undangan ini. Ia berlindung pada Kaisar Maximilian untuk mengadakan ‘hearing‘/ pertemuan dan menunjuk para hakim untuk menyampaikan kasusnya. Pihak universitas kemudian menulis kepada Roma dan pihak nuncio, dengan mengatakan bahwa kesehatan Luther tidak memungkinkan dan jaminan bahwa Luther akan tetap setia kepada ajaran Gereja. Sementara itu Luther tetap melanjutkan kegiatannya menulis. Tulisannya “Resolutiones” dikirimkan ke Paus (tanggal 30 Mei 1518); dan disertai dengan surat pengantar yang menyatakan kesetiaan dan ketaatan kepada Tahta Suci. Namun ketulusan ini surat ini menjadi pertanyaan, sebab beberapa hari sebelumnya Luther memberikan kotbah yang menyulut kemarahan, tentang ekskomunikasi (16 May 1518) yang menentang bahwa persatuan dengan Gereja tidak terputus dengan ekskomunikasi melainkan dengan dosa saja.
Utusan dari pihak kepausan, bernama Cajetan, bertemu dengan Luther di Augsburg tanggal 11 Oktober 1519. Cajetan adalah seorang teolog yang sangat terkenal saat itu, yang mempunyai latar belakang ilmu pengetahuan, humanistik dan teologi yang sangat baik. Namun pertemuan itu gagal menghasilkan keputusan. Cajetan yang datang dengan kesabaran untuk memediasi keputusan, disambut oleh Luther dengan sikap defensif, kasar dan tidak sopan. Akhirnya Cajetan mengakhiri pertemuan dengan keputusan tidak akan memanggil kembali sampai Luther menarik kembali pernyataannya.
Selanjutnya yang menambah ‘kusutnya’ catatan sejarah adalah dikatakan adanya surat dari Paus ke Cajetan (23 Agustus 1518) yang isinya memohon bantuan Kaisar untuk menahan Luther karena ia menolak untuk datang ke Roma. Namun sebenarnya surat ini surat yang ditulis di Jerman (bukan di Roma), dan karenanya adalah surat palsu (Beard, op. cit., 257-258; Ranke, “Deutsche Gesch.” VI, 97-98). Namun demikian surat palsu ini tetap dicatat dalam biografi Luther.
Luther kembali ke Wittenberg setahun setelah peristiwa ia menempelkan thesesnya di pintu gereja di sana (31 Oktober 1518). Usaha untuk membuat Luther menarik kembali pernyataannya telah gagal, dan kini Luther dengan didukung oleh para pemimpin sipil, memohon kepada Paus untuk membuat konsili (28 November 1518). Namun kemudian Luther menolak untuk patuh kepada keduanya. Penunjukan Karl von Miltitz sebagai nuncio juga membuat keadaan menjadi tambah pelik, karena Miltitz adalah seorang yang kurang bijaksana. Ia seorang yang peminum berat, sehingga menempatkan dirinya sendiri di posisi yang tidak terhormat. Maka laporan Miltitz bahwa Luther akan diam, akan taat pada Paus, akan menerbitkan pernyataan publik tentang kesetiaannya kepada Gereja, dan menyerahkan kasusnya kepada uskup; diabaikan oleh Luther.
Selanjutnya debat teologis berlangsung antara pihak Luther (Luther dan Carlstadt) dan Johann Eck tanggal 27 Juni 1519 dengan membahas topik seperti rahmat Tuhan dan kehendak bebas (grace and freewill) dan hal supremasi kepemimpinan Paus. Tentang topikgrace and freewill, Eck tampil sebagai pemenang debat. Tentang supremasi Paus yang ditentang oleh Luther, Eck mengacu kepada bagaimana pandangan serupa oleh Wiclif dan Hus pernah dikecam oleh Konsili di Constance. Pernyataan ini membuat Luther akhirnya menyatakan bahwa konsili dapat salah. Terhadap hal ini Eck berkomentar singkat, “Kalau engkau percaya bahwa konsili yang sah dapat salah dan telah salah, maka bagi saya, kamu adalah seorang pagan dan publikan” (Köstlin-Kawerau, op. cit., I, 243-50). Luther pulang dalam keadaan terpukul atas turnamen yang mengecewakannya ini.
Luther kemudian memperoleh dukungan dari Melancthon, seorang humanist yang menghubungkan Luther dengan komrad bersenjata, Ulrich von Hutten dan Franz von Sickingen, yang memberikan perlindungan kepadanya. Maka selanjutnya Luther tidak takut lagi untuk terus menulis tentang ajaran- ajarannya yang anti klerikal, benci terhadap Roma dan Paus dan teorinya tentang Antikristus. Beberapa prinsip ajarannya adalah:
- Hanya Kitab Suci sajalah yang menjadi sumber kebenaran (Padahal Gereja mengajarkan sumber kebenaran adalah Kitab Suci dan Tradisi Suci)
- Kodrat manusia telah sama sekali rusak akibat dosa asal; maka manusia tidak lagi punya kehendak bebas. Apapun yang dilakukan apakah itu baik atau buruk bukan merupakan perbuatannya sendiri tetapi perbuatan Tuhan. (Padahal Gereja mengajarkan bahwa biar bagaimanapun manusia diciptakan menurut gambaran Allah, sehingga tetap ada kebaikan dalam diri manusia, walaupun oleh karena akibat dosa, manusia mempunyai kecenderungan berbuat dosa. Oleh karena manusia tidak rusak total, maka ia mempunyai kehendak bebas dan dapat bertanggungjawab atas perbuatannya. Pertanggungjawaban atas perbuatan kita inilah yang nanti diminta oleh Tuhan pada saat penghakiman terakhir)
- Iman saja yang menyelamatkan dan manusia diselamatkan dengan percaya bahwa Tuhan akan mengampuninya. Iman sedemikian bukan saja mengampuni dosa seluruhnya, tetapi juga menghapus segala akibatnya. (Padahal Gereja mengajarkan bahwa iman tidak boleh dilepaskan dari perbuatan, sehingga tidak dapat dikatakan hanya iman saja, namun iman, perbuatan, baptisan, pertobatan, semua itu diperlukan untuk keselamatan yang diberikan kepada kita karena rahmat Allah. Selanjutnya walaupun Allah mengampuni setiap kesalahan kita, namun ada konsekuensi yang harus kita tanggung akibat pelanggaran kita.)
- Hirarki dan imamat bukan ditetapkan oleh Tuhan dan tidak diperlukan, upacara penyembahan tidak penting dan tidak berguna; pakaian- pakaian gerejawi, ziarah, mati raga, kaul biara, doa bagi orang- orang yang sudah wafat, doa syafaat orang kudus tidak berguna bagi jiwa. (Padahal hal hirarki dan peran imamat jabatan nyata dalam Perjanjian Lama, dan juga dalam Perjanjian Baru, di mana Kristus memilih 12 rasul-Nya untuk melaksanakan misi-Nya)
- Semua sakramen ditolak, kecuali Baptisan, Ekaristi dan Pengakuan Dosa (Gereja mengajarkan adanya 7 sakramen)
- Imamat bersifat universal dan setiap orang Kristen dapat menjadi imam, tidak perlu ditahbiskan (Gereja mengakui adanya imamat bersama, namun juga imamat tertahbis).
- Tidak ada Gereja yang kelihatan atau satu Gereja yang didirikan Tuhan (Gereja berdasarkan Kitab Suci mengajarkan bahwa Tuhan Yesus mendirikan Gereja-Nya di atas Petrus/ Batu Karang, terlihat sebagai satu kesatuan).
Lalu Luther mengadakan pendekatan kepada Kaisar untuk mengadakan 3 hal: 1) untuk menghancurkan kuasa Paus, 2) untuk merampas hak milik Gereja, 3) untuk meniadakan perayaan- perayaan gerejawi, puasa dan hari libur, untuk menghapuskan Misa arwah, dst.
Di bulan April 1520, Eck ke Roma, dengan membawa tulisan- tulisan ajaran ini yang diterjemahkan dalam bahasa Latin. Hal- hal ini didiskusikan dengan seksama. Tanggal 15 Juli 1520 Paus mengeluarkan Bula “Exsurge Domine” yang secara resmi mengecam 41 proposisi yang disebutkan dalam tulisan- tulisan Luther, dan Luther diperintahkan untuk menghancurkan buku- buku yang memuat kesalahannya dan untuk menarik pernyataannya dalam 60 hari, atau ia menerima sangsi penuh akibat melanggar ketentuan Gereja. Tiga hari kemudian Eck ditunjuk sebagai komisi untuk menerbitkan Bula tersebut di Jerman. Penunjukan ini sesungguhnya tidak bijaksana, sebab sikap Luther kepadanya sudah negatif karena pengalaman sebelumnya. Kedatangan Eck di Jerman disambut protes dan penolakan dari pihak akademisi. Bula tersebut menjadi obyek kemarahan. Namun Bula itu tidak mempengaruhi Luther, malah menariknya lebih jauh, dan memberikan momentum untuk memberontak, “Bagi saya kematian sudah jelas: Saya membenci baik kesukaan ataupun kemarahan Roma; Saya tidak mau berdamai dengan dia, atau bahkan untuk bersekutu dengannya….” (De Wette, op. cit., 466).
Demikianlah, dengan perkataan ini (dan perkataan- perkataan selanjutnya yang menentang Paus) Luther menolak untuk menarik kembali ajaran- ajarannya yang tidak sesuai dengan ajaran yang sejak awal mula diajarkan oleh Gereja, dan dengan demikian ia memisahkan diri dari kesatuan dengan Gereja. Maka dalam hal ini, Luther tidak menanggapi pernyataan dari Bapa Paus “Exsurge Domine“, seperti seharusnya, yaitu dengan memeriksa ajarannya kembali dengan koreksi yang sudah diterimanya dari pihak kepausan. Sebaliknya, ia berkeras dengan ajarannya sendiri yang tidak sesuai dengan apa yang sudah diajarkan selama berabad- abad oleh para Bapa Gereja dan dilestarikan oleh pihak Magisterium.
Namun kemudian sejarah juga mencatat bahwa apa yang dilakukan Luther terhadap Bapa Paus (pihak otoritas) ternyata terjadi pada dirinya sendiri. Banyak dari para pengikutnya akhirnya meninggalkan dia, dan murid- muridnya yang terdekat, seperti Carlstadt dan Zwingli menentangnya, dan memisahkan diri darinya. Luther tidak melihat bahwa posisi mereka sesungguhnya menyerupai posisi dirinya sendiri yang menentang pihak otoritas Paus (Tulloch, “Leaders of the Reformation“, Edinburgh and London, 1883, 171). Ajaran Luther tentang “imamat universal seluruh umat” (tanpa perlunya imam tertahbis), dan bahwa “kongregasi umat sendiri mempunyai otoritas untuk menentukan doktrin/ajaran” kemudian terbukti malah memecah belah pengikutnya sendiri. Ia tidak menyadari bahwa untuk mendirikan suatu gereja baru, dasar yang teguh diperlukan, dan ini tidak dapat ditentukan sendiri oleh masing- masing kelompok. Otoritas yang mempersatukan diperlukan, dan sesungguhnya peran inilah yang dilaksanakan oleh Bapa Paus dalam Gereja selama ini. Luther, setelah melihat kenyataan akan banyaknya sekte yang terbentuk, akhirnya mengakui bahwa “jumlah sekte- sekte itu hampir sama dengan jumlahnya kepala yang ada (maksudnya jumlah orang)/ “nearly as many sects as there are heads” (De Wette, op. cit., III, 61).
Harus diakui bahwa adanya bermacam gerakan Protestantism tidak terpisahkan dari faktor temperamen Luther, di samping adanya perbedaan doktrin. Sejarah mencatat bahwa terperamen yang buruklah yang membawa Luther semakin terasing dari para pengikutnya. Carlstadt memisahkan diri darinya tahun 1522. Melancthon dengan nada sedih menyebutkan tentang sikap Luther yang kasar, mau menangnya sendiri seperti seorang tiran….. Zwingli, Œcolampadius juga tak luput dari cercaan Luther, yang menyebut mereka sebagai telah dipengaruhi oleh setan (Walch, op. cit., XX, 223). Demikian juga, Luther berseberangan dengan Calvin dalam hal doktrin tentang Ekaristi, dan keduanya tidak mencapai kata sepakat.
Selanjutnya, sampai akhir hidupnya Luther menentang kepausan, seperti terlihat dalam tulisan- tulisan terakhirnya di tahun 1545. Luther meninggal dunia pada tanggal 18 Februari 1546, tetap dalam keadaan keterpisahannya dengan Gereja Katolik. Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa Martin Luther diekskomunikasi bukan pertama- tama karena melawan Paus, tetapi karena ia berkeras mengajarkan suatu doktrin yang tidak sesuai dengan ajaran iman yang sudah berakar lama dalam Gereja, walaupun sudah berkali- kali diperingatkan untuk tidak melakukannya. Nah, setelah menerima ekskomunikasi, Luther bukannya menarik kembali ajarannya, tapi malahan berkeras memisahkan diri dan melawan Paus. Seperti telah pernah disampaikan, ekskomunikasi bukan bertujuan untuk mengusir, namun untuk menyembuhkan; dalam artian membuat yang bersangkutan merenungkan kesalahannya. Namun nampaknya ini tidak terjadi pada Luther. Luther sesungguhnya dapat memilih untuk memperbaiki ataupun membangun Gereja dari dalam, namun nampaknya, keadaan sudah sedemikian pelik dan ada banyak faktor yang mempengaruhi, sehingga bukan jalan ini yang dipilih oleh Luther.
2. Dengan menulis 95 theses Luther melawan Paus?
Tentang 95 theses/ keberatan Martin Luther sudah pernah dibahas di sini,
silakan klik. Terhadap 95 theses (dan pernyataan- pernyataan Luther Lainnya) pihak kepausan telah menanggapi dengan mengeluarkan bulla “
Exsurge Domine” (
silakan klik), yang menyatakan terdapat 41 pernyataan Luther yang salah/ keliru; dan Luther diminta untuk menarik pernyataan/ pengajaran yang salah itu dalam waktu 60 hari. Namun Luther menolak untuk menarik kembali ajarannya, dan bahkan ia membakar bulla tersebut. Oleh karena itu, maka pihak Vatikan akhirnya mengeluarkan bulla ekskomunikasi Martin Luther dan para pengikutnya, tanggal 3 Januari 1521. Seandainya Luther mau menarik pengajaran yang salah tersebut, atau mau datang ke Roma untuk menjelaskan kasusnya, maka sejarah akan mencatat kisah yang berbeda.
3. Tentang apakah Martin Luther mengetahui sejarah?
Pertama- tama harus diakui bahwa ada banyak sekali tulisan para Bapa Gereja, dan mempelajari tulisan- tulisan mereka bukan hal yang mudah dan cepat, sebab jumlahnya yang jauh melebihi lembaran Kitab Suci. Sehingga besar kemungkinan, orang memilih/ menjadi selektif tentang tulisan para Bapa Gereja yang hendak dipelajarinya. Demikianlah nampaknya yang terjadi pada Martin Luther, ia hanya mengambil tulisan/ ajaran Bapa Gereja yang nampaknya sejalan dengan pikirannya, tanpa melihat keseluruhan tulisan yang lain.
Luther lahir tahun 1483, dan di usia 19 tahun menjadi sarjana filosofi, dan di usia ke 22 meraih gelar Master (1505), ditahbiskan menjadi imam tahun 1507. Dua tahun berikutnya menjadi Baccalaureus Biblicus dalam Teologi. Di usia 30 tahun ia menjadi Doktor, dan dosen tentang Kitab Suci, dan kemudian dua tahun kemudian menjadi wakil vicar-general di Saxon. Sekilas memang ‘karir’ Luther melejit sangat cepat, namun itu tidak menjamin bahwa ia juga ahli sejarah dan mempunyai minat untuk mempelajari sejarah dan tulisan Bapa Gereja. Sebab dalam karya- karyanya, tulisan para Bapa Gereja relatif jarang dikutip, karena Luther menekankan ‘hanya Kitab Suci saja’. Kemudian Luther justru cenderung untuk mengabaikan ajaran Bapa Gereja yang dipelihara dengan setia oleh Magisterium Gereja dalam setiap Konsili. Hal ini kita ketahui melalui pandangan Luther yang menganggap bahwa konsili bisa salah. Pandangan ini sesungguhnya tidak masuk akal, karena Kitab Suci yang tidak mungkin salah itu sendiri sesungguhnya merupakan hasil penetapan Konsili. Sebab otoritas yang bisa salah tidak mungkin menghasilkan Kitab Suci yang tidak mungkin salah. Oleh karena itu, yang masuk akal adalah: Kitab Suci tidak mungkin salah, demikian juga otoritas yang menentukannya juga tidak mungkin salah, yaitu Magisterium yang dikepalai oleh Paus yang adalah penerus Rasul Petrus, sebab Kristus sendiri telah menjaminnya (Mat 16:19).
Dengan demikian, ucapan Cardinal John Henry Newman, tetap berlaku: “To be versed in history is to cease to be Protestant.” Sebab jika seseorang mau mempelajari sejarah Gereja, berikut dengan tulisan- tulisan para Bapa Gereja (Tradisi Suci) sejak abad awal sampai sekarang, maka ia akan semakin dapat melihat kepenuhan kebenaran di dalam Gereja Katolik.
Demikian tanggapan saya atas pertanyaan anda, semoga dapat berguna bagi kita semua.
Sumber dan Tanya Jawab seputar sejarah tentang Luther silahkan
klik disini