Kamis, 22 Maret 2012

Apakah Deuterokanonika tidak termasuk dalam Alkitab?

Apakah Deuterokanonika tidak termasuk dalam Alkitab?

Umat Kristen non-Katolik sering mengatakan bahwa kitab-kitab deuterokanonika disebut kitab-kitab Apokrif dan seharusnya tidak menjadi bagian dari Kitab Suci. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang dapat kita pegang:

1. Sebaiknya tidak menggunakan istilah “Apokrif”

Sebenarnya menurut St. Agustinus perkataan “Apokrif” atau apocrypha artinya adalah ‘tidak jelas asal usulnya’ yang berkonotasi dengan buku yang tidak diketahui pengarangnya atau buku yang keasliannya dipertanyakan. Namun secara umum, perkataan “apokrif” tadi diartikan sebagai sesuatu yang ‘tersembunyi, salah, buruk atau sesat’, sehingga sebaiknya kita tidak menggunakan kata “apokrif” karena artinya sama sekali bukan penghalusan kata “deuterokanonika”, tetapi malahan sebaliknya, sebab menganggap bahwa kitab- kitab ini tidak diinspirasikan oleh Roh Kudus.
Maka sebaiknya kita menggunakan saja kata “Deuterokanonika” yang terjemahan bebasnya adalah, “kanon yang kedua/ secondary”. Sebab memang kitab-kitab yang termasuk di dalamnya ditetapkan setelah kitab protocanon ditetapkan. Walaupun demikian, sudah sejak awal kitab- kitab Deuterokanonika termasuk dalam Septuagint, yaitu Kitab Suci Perjanjian Lama yang ditulis di dalam bahasa Yunani, yang adalah Kitab Suci yang dipegang oleh Kristus dan para rasul.

2. Tidak seharusnya kita mengikuti hasil Konsili Javneh/ Jamnia

Setelah kehancuran Yerusalem di tahun 70, yaitu tepatnya tahun 90- an  para ahli kitab Yahudi mengadakan konsili Jamnia (Javneh) untuk meninjau kanon Kitab Suci mereka, sambil juga menolak keberadaan Injil yang tidak mereka pandang sebagai tulisan yang diinspirasikan oleh Allah, karena mereka menolak Kristus. Konsili ini akhirnya memutuskan untuk  tidak memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika di dalam Kitab agama Yahudi. Apa alasan persisnya kenapa disebut demikian memang tidak diketahui. Ada yang menyebutkan karena naskah asli dalam bahasa Ibraninya tidak diketemukan, namun yang ada hanya terjemahan bahasa Yunaninya, walaupun para Bapa Gereja pada jemaat Kristen awal tidak  meragukan keaslian kitab-kitab ini. Silakan membaca di link ini, silakan klik, untuk mengetahui bahwa para Bapa Gereja tidak pernah meragukan keotentikan kitab- kitab Deuterokanonika, dan bahkan mengutip ayat- ayat dalam Kitab tersebut dalam pengajaran mereka. [Para Bapa Gereja yang mengutip kitab- kitab Deuterokanonika dalam ajaran mereka, dan dengan demikian tidak meragukan keotentikan kitab tersebut, adalah: Para rasul dalam ajaran mereka Didache, Klemens, Polycarpus, Irenaeus, Hippolytus, Cyprian, Agustinus dan Jerome].
Walaupun sekarang umat Yahudi umumnya menerima hasil konsili Jamnia (Javneh) namun harus diakui bahwa tidak semua komunitas Yahudi menerima otoritas konsili Jamnia ini. Umat Yahudi di Ethiopia, misalnya, memilih kanon yang sama dengan kanon PL yang ditetapkan oleh Gereja Katolik, yang memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika (cf. Encyclopedia Judaica, vol. 6, p. 1147). Demikian pula sebenarnya, Gereja tidak perlu menerima otoritas konsili Jamnia, sebab: 1) Konsili agama Yahudi yang dilakukan setelah Kristus bangkit,  tidak mengikat umat Kristiani, sebab kuasa mengajar telah diberikan kepada para rasul dan para penerusnya, dan bukan kepada pemimpin agama yahudi; 2) Konsili Jamnia menolak semua dokumen yang malah menjadi dasar sumber iman Kristiani, yaitu Injil dan kitab- kitab Perjanjian Baru. 3) Dengan menolak kitab- kitab Deuterokanonika ini, konsili Jamnia menolak kitab- kitab yang dipegang oleh Yesus dan para rasul, yang telah termasuk di dalam Kitab Suci mereka yaitu Septuaginta. Adalah fakta bahwa 2/3  kutipan  dalam kitab Perjanjian Baru sendiri diambil dari Septuagint dan bukan dari kitab berbahasa Ibrani.

3.Kitab-kitab yang termasuk Deuterokanonika

Kitab-kitab yang termasuk Deuterokanonika ini adalah:
  1. Tobit
  2. Yudit
  3. Tambahan kitab Ester
  4. Kebijaksanaan
  5. Sirakh
  6. Barukh, termasuk tambahan surat Yeremia
  7. Tambahan kitab Daniel
  8. 1 Makabe
  9. 2 Makabe
Kitab-kitab tersebut sudah termasuk di dalam kanon Kitab Suci sesuai dengan yang ditetapkan oleh Paus Damasus I dalam sinode di Roma tahun 382 dan kemudian ditetapkan kembali pada Konsili Hippo (393) dan di Konsili Carthage (397). Jika kita membaca isi kitab Deuterokanonika tersebut tidak ada yang bertentangan dengan isi Alkitab yang lain, sehingga sesungguhnya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa kita-kitab tersebut ‘buruk’. Kitab tersebut malah memperjelas apa yang disampaikan dalam kitab Perjanjian Lama yang lain. Contohnya saja, di tambahan kitab Esther, ada uraian tentang mimpi Mordekai, surat penetapan Haman, doa Mordekai dan doa Esther, yang jika dibaca dalam kesatuan dengan Kitab Esther dalam kanon terdahulu dapat menjelaskan isi Kitab Esther secara lebih lengkap dan membuat ceritanya ‘make sense’. (Misalnya, di kitab terdahulu hanya disebut ada surat Haman, tetapi isi persisnya tidak dijabarkan, sedangkan di kitab tambahan Esther isi surat itu dijabarkan).

4. Mengapa Luther dan Calvin menolak Kitab- kitab Deuterokanonika

Kemungkinan Luther mencoret kitab Deuterokanonika terutama karena tidak setuju dengan isi Kitab 2 Makabe yang mengajarkan untuk berdoa bagi keselamatan jiwa orang-orang yang telah meninggal, sebab Luther berpendapat bahwa keselamatan diperoleh hanya karena iman (Sola Fide). Martin Luther juga menganggap beberapa kitab dalam Perjanjian Baru sebagai “kitab deuterokanonika”, seperti halnya surat rasul Yakobus – yang disebutnya sebagai “Epistle of straw/ surat jerami”,  kitab Wahyu, dan surat Ibrani, karena kitab itu secara implisit mengutip kitab 2 Makabe 7, yaitu Ibr 11:35. Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa gereja Protestan mencoret Kitab Deuterokanonika karena ingin mengikuti hasil konsili Jamnia, agar lebih sesuai dengan kitab asli dalam bahasa Ibrani yang diterima oleh umat Yahudi. Namun seperti telah dijabarkan di atas, sesungguhnya umat Kristen tidak perlu mengikuti hasil Konsili Jamnia. Karena konsili itu menolak Kristus, menolak Injil dan Perjanjian Baru, bagaimana mungkin kita bisa mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas dari Roh Kudus untuk menentukan kanon Kitab Suci?
Walaupun Luther menolak kitab- kitab Deuterokanonika, namun setelah bertentangan sendiri dengan para tokoh Protestan lainnya, akhirnya Luther tetap memasukkan kitab- kitab tersebut dalam Kitab Perjanjian Baru. Luther dan para pengikutnya kemudian menyebut kitab- kitab Deuterokanonika sebagai kitab- kitab Apokrif (tidak diilhami Roh Kudus). Namun demikian, Luther tetap memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika tersebut di dalam terjamahan Kitab Suci yang disusunnya, sebagai tambahan/ appendix antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Hal ini berlangsung terus sampai tahun 1827, saat  the British and Foreign Bible Society mencoret atau membuang kitab- kitab Deuterokanonika dari kitab suci mereka.
Maka Kitab Suci versi Protestan yang ada sekarang, bukan saja tidak lengkap, jika dibandingkan dengan Kitab Suci dari Gereja Katolik, tetapi juga tidak lengkap jika dibandingkan dengan Kitab Suci yang umum  mereka pakai selama sekitar 300 tahun (dari abad ke 16 sampai ke 19). Dan bahwa kitab suci Protestan sekarang ini usianya baru sekitar 150 tahun, dan ditetapkan oleh manusia, dan bukan oleh Tradisi turun temurun dari para rasul dan para Bapa Gereja. Tak dapat dipungkiri bahwa Luther menentukan sendiri kitab- kitab yang dianggapnya ‘lebih penting’ dari kitab- kitab yang lain berdasarkan pemahaman pribadinya; dan inilah yang kemudian mempengaruhi pandangan para pengikutnya. Sedangkan Gereja Katolik dalam menentukan kanon, tidak berdasarkan pemahaman pribadi melainkan dari bukti tertulis dari pengajaran para rasul dan Bapa Gereja, yang telah memasukkan kitab- kitab tersebut dalam tulisan mereka.
Jadi yang benar adalah Gereja Katolik tidak pernah menambah-nambah Kitab Suci, sebab memang dari sejak awal ditetapkan sudah demikian. Yang terjadi adalah pengurangan oleh pihak pendiri gereja Protestan, yang akhirnya diturunkan kepada generasi-generasi berikut dalam bermacam denominasi.

Sabtu, 21 Januari 2012

Apakah Galileo Galilei dibunuh Gereja Katolik?

Pertanyaan:

Dear katolisitas,
Saya sering mendengar dari orang2 bahwa Galileo dihukum mati oleh Gereja Katolik karena mengajukan teori heliosentris dan menolak geosentris. Apakah hal ini benar? Mohon penjelasannya. Terima kasih – Thomas

Jawaban:

Shalom Thomas,
Terimakasih atas pertanyaannya. Memang banyak orang yang salah sangka dan mengatakan bahwa Galileo dihukum mati oleh Gereja Katolik. Namun hal ini tidaklah benar. Mari kita melihatnya satu persatu:
  1. Ada banyak teori yang dikemukakan dalam kasus Galileo. Namun secara obyektif, kita melihat ada kesalahan yang dilakukan oleh pihak Galileo dan juga oleh Gereja.
  2. Sebelum Galileo, Nicolaus Copernicus (1473-1543) telah mempresentasikannya kepada Gereja Katolik tentang teori “heliocentric”. Bahkan Vatican sendiri membantu untuk mempublikasikannya, setelah melalui proses editing. Dan akhirnya dipublikasikan dengan bantuan Cardinal Schonberg dan Tiedemann Giese, uskup dari Culm dengan persetujuan Paus Paul III. Hanya teori inidikatakan masih berupa ” hipotesa“. Tidak ada yang menentang hipotesa ini, termasuk Paus. Malah reaksi keras akan adanya teori ini datang dari teolog Protestan. Untuk lengkapnya, dapat dilihat di: New Advent – Nicolaus Copernicus. Jadi dari sini kita melihat bahwa Gereja Katolik tidak anti science, namun malah mendorong kemajuan science, yang diteruskan sampai sekarang. Sungguh sangat disayangkan bahwa banyak orang beranggapan bahwa Gereja menentang science dan menyembunyikan science dari manusia untuk mempertahankan kekuasaan.
  3. Galileo Galileo (1564-1642) yang tertarik dan mendukung teori heilocentric dari Copernicus, mencoba membuktikan bahwa teori heliocentric adalah benar, dengan beberapa argumentasi yang tidak memenuhi standard science pada waktu itu. Namun dengan keadaan tersebut, Galileo tetap berkeras bahwa teori yang dikemukakannya adalah benar. Hal inilah yang menjadikan pertentangan dengan Gereja Katolik pada saat itu. Dan hal ini menimbulkan kebingungan di kalangan umat. Kemudian Galileo menghadap tim investigasi di Roma dan dari situ dinyatakan bahwa teori heliocentric tidak dapat dibuktikan sesuai dengan standard science pada waktu itu, sehingga dinyatakan salah, juga bidaah dan anti Alkitab. Galileo harus mencabut pernyataannya, dan Galileo berjanji tidak akan mengajarkan teori ini lagi.
  4. Galileo benar ketika dia mengatakan bahwa Alkitab ditujukan untuk mengajarkan manusia bagaimana untuk mencapai surga. Bahkan kardinal Bellarmine yang mempunyai pengaruh besar pada waktu itu mengatakan “Saya katakan bahwa jika sebuah bukti yang konkrit ditemukan bahwa matahari tetap dan tidak berputar mengelilingi bumi, tetapi bumi mengelilingi matahari, maka menjadi sangat penting, secara hati-hati, untukmelakukan penjelasan dari beberapa ayat di Kitab Suci yang terlihat kontradiksi, dan kita lebih baik mengatakan bahwa kita telah salah menginterpretasikan semua ini daripada mengumumkan bahwa hal itu adalah salah seperti yang telah dibuktikan”. Hal ini berarti bahwa Gereja Katolik mempunyai sikap bahwa kalau teori tersebut dapat dibuktikan sesuai dengan standard pembuktian science pada waktu itu, dan terbukti benar, maka Gereja akan berfikir bagaimana menginterpretasikan Alkitab, sehingga tidak bertentangan dengan kebenaran tersebut. Di sinilah Galileo benar, bahwa Alkitab bukanlah buku science, namun mengajarkan orang untuk mencapai surga.
  5. Walaupun Galileo telah berjanji mentaati untuk tidak mengajarkan teori tersebut, namun Galileo mengingkarinya dengan menerbitkan buku di tahun 1632. Dan kemudian Galileo dihadapkan pada tim investigasi dan kemudian Galileo menjalani tahanan rumah sambil melakukan penitensi. Namun sungguh sangat salah kalau dikatakan seolah-olah Galileo tidak diperlakukan tidak manusiawi, karena baik selama proses investigasi dan tahanan rumah, Galileo mendapatkan fasilitas yang sangat baik. Pada tahun 1642, dia meninggal dan 5 tahun sebelum meninggal dia mengalami kebutaan. Paus Urban VIII memberikan berkat khusus buat Galileo, dan jenasahnya dikuburkan di dalam Gereja Santa Croce di Florence. Hal ini dapat dibaca di New Advent – Galileo Galilei.
  6. Dari hal ini, sejarah membuktikan bahwa Gereja Katolik tidak membunuh Galileo. Apakah ada kesalahan yang dibuat oleh Gereja Katolik? Ya, terutama adalah tim investigasi pada waktu itu, yang mungkin kurang bijaksana menyikapi kasus ini. Di sisi yang lain, Galileo sendiri tidak dapat membuktikan kebenaran teorinya sesuai dengan standard science pada waktu itu dan tetap memaksakan sesuatu yang belum terbukti sebagai suatu kebenaran. Dari sinilah Cardinal Ratzinger mengutip Paul Feyerabend, seorang filsuf dari Austria yang mengatakan ” Pada jaman Galileo, Gereja lebih setia terhadap akal budi dibandingkan dengan Galileo sendiri“. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa “Pada akhir dari milenium ke dua, kita harus mengadakan pemeriksaan batin bagaimana kita sekarang, bagaimana Kristus telah membawa kita, dan bagaimana kita telah menyimpang dari Injil”. Dan memang Gereja yang masih mengembara harus terus memurnikan diri, karena walaupun Gereja itu Kudus (karena Kepala dari Gereja, Kristus, adalah kudus), namun mempunyai anggota yang berdosa (KGK, 827).
Dan saya ingin menggarisbawahi bahwa pada waktu Paus memberikan suatu doktrin yang tidak mungkin salah, harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Lumen Gentium, 25; Code of Canon Law, 748. 1): 1) Dia berbicara dalam kapasitasnya sebagai Paus, bukan sebagai pribadi, 2) Pengajaran yang dilakukan adalah untuk seluruh dunia, bukan hanya untuk beberapa keuskupan, 3) Ajaran tersebut adalah dalam area iman dan moral – jadi bukan science. Dan kebenaran ini, dijanjikan oleh Yesus sendiri di Mat 16:16-19.
Semoga uraian di atas dapat menjawab pertanyaan Thomas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org
Untuk Sumber dan Tanya Jawab silahkan klik disini


1. Mengapa Galileo Galilei dihadapkan pada tim investigasi Gereja?

Hal ini akan lebih dapat dipahami jika kita berusaha memahami keadaan masyarakat pada jaman abad pertengahan sampai pada abad 17, di mana peran Gereja sangat besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Sebab para imam/ biarawan terutama kaum Jesuit pada saat itu banyak yang menjadi ahli dalam ilmu pengetahuan, seperti matematika, biologi, kedokteran, metalurgi, dst, termasuk astronomi. Pada saat itu sikap para ilmuwan adalah mengembangkan ataupun menyelaraskan apa yang mereka pelajari dengan apa yang mereka ketahui sebagai Wahyu Ilahi yang dinyatakan dalam Kitab Suci.
Berikut ini saya menyarikan informasi yang netral dari Wikipedia, dan juga dari sumber- sumber lainnya:
Dalam hal astronomi khususnya prinsip heliosentris (matahari sebagai pusat jagad raya) yang diajarkan oleh Galileo Galilei, hal ini menjadi sangat menarik, karena seolah- olah, hal ini berlainan dengan apa yang tertulis dalam Kitab Suci, yang menyatakan sepertinya bumi-lah yang menjadi pusatnya (geosentris), seperti tertulis dalam Mzm 93:1, 96:10 dan 1 Taw 16:30 yang mengatakan, “Sungguh tegak dunia (bumi), tidak bergoyang” (lihat juga ayat Mzm 104:5, Pkh 1:5). Galileo berargumen, bahwa sesungguhnya ayat- ayat ini harus dianggap sebagai puisi, dan tidak harus diinterpretasikan secara literal. Nah untuk inilah pihak Gereja membutuhkan pembuktian dari Galileo, sebelum dapat menyetujui interpretasi ayat- ayat tersebut, karena pada umumnya, cara interpretasi Kitab Suci yang diajarkan oleh Gereja Katolik adalah, pertama- tama harus diterima arti literalnya terlebih dahulu; baru kemudian arti spiritualnya; kecuali jika pengartian secara literal itu sama sekali tidak mungkin/ tidak masuk akal.
Pada tahun 1616, Galileo menyampaikan bukti teori heliosentris kepada Kardinal Orsini, yaitu adanya pasang air laut, yang menurut Galileo disebabkan oleh perputaran bumi pada porosnya dan perputaran bumi terhadap matahari. Memang teori ini memberikan dasar pemikiran akan pentingnya bentuk dasar lautan dalam hal ukuran dan waktu terjadinya pasang. Namun sebagai alasan terjadinya pasang, teorinya ini keliru. Sebab jika teori ini benar, maka akan hanya terjadi satu kali saja pasang yang tinggi setiap harinya, padahal kenyataannya di Venesia, contohnya, terdapat dua kali pasang, dengan jeda sekitar 12 jam. Terhadap pernyataan Galileo ini ilmuwan Albert Einstein mengatakan, bahwa Galileo mengembangkan “argumen yang mengagumkan” ini tanpa dikritisi, karena keinginannya menemukan bukti fisik tentang pergerakan bumi.
Pada tahun yang sama, Galileo bertemu dengan Kardinal Bellarminus, dan ia menyampaikan teori heliosentris tersebut. Awalnya Kardinal Bellarminus tidak menolak hipotesa tersebut, namun setelah beliau mengetahui bahwa bukti- bukti yang disampaikan Galileo tidak memadai, maka ia kemudian mengeluarkan dekrit yang melarang publikasi teori tersebut. [Larangan ini sesungguhnya masuk akal, karena sebetulnya, bukti yang memadai yang bisa membuktikan teori heliosentris adalah, jika dapat dihasilkan suatu pemetaan jalur pergeseran paralel dari bintang-bintang karena pergesaran orbit bumi mengelilingi matahari. Namun hal tersebut tidak dapat diamati dengan teknologi pada saat itu, sebab konfirmasi stellar parallax yang dapat mengamati jalur pergeseran tersebut baru ditemukan oleh Friedrich Wilhelm Bessel ditahun 1838].
Galileopun untuk sementara waktu tunduk pada larangan ini, sampai pada tahun 1623 saat Kardinal Maffeo Barberini, seorang pengagumnya, menjadi Paus, dengan nama Paus Urban VIII. Pada tahun ini, Galileo diijinkan oleh Paus untuk melanjutkan penelitian atas hipotesanya, asalkan 1) memberi argumen- argumen tentang hal- hal yang mendukung dan menentang teori heliosentrism, 2) agar pandangannya tentang hal ini dimasukkan dalam buku tersebut. Galileo hanya memenuhi permintaan yang kedua dalam bukunya yang diberi judul Dialogue Concerning the Two Chief World Systems. Namun, sengaja atau tidak, Galileo memasukkan pandangan Paus itu dalam tokoh Simplicio, sebagai pendukung teori geosentris-nya Aristoteles, yang dibuatnya menjadi tokoh yang bodoh/ pandir. Maka Galileo bukannya menampilkan hal pro dan kontra secara netral, tetapi cenderung untuk membela pandangannya yang pro terhadap heliosentris ini- walaupun ia belum dapat memberikan bukti yang meyakinkan secara ilmiah untuk mendukung teorinya. Oleh karena itu, Galileo kehilangan dukungan dari Paus yang merasa dilecehkan olehnya, dan juga oleh para astronom Jesuit. Akhirnya Galileo dikenakan tahanan rumah sampai ia diadili oleh Pengadilan Inkuisisi tahun 1633, atas tuduhan mengajarkan teori yang bertentangan Kitab Suci, yaitu bahwa matahari tidak bergerak sebagai pusat jagad raya. Namun atas kebaikan Uskup Agung Siena, akhirnya Galileo diperbolehkan pulang ke villanya di dekat Florence tahun 1634 sampai wafatnya di tahun 1642, setelah menderita demam dan serangan jantung, di usia yang ke 77.

2. Apakah akibatnya pada perkembangan iman umat saat Galileo mengatakan teorinya?

Seperti telah diuraikan di point 1, teori heliosentris yang diajarkan oleh Galileo berhubungan dengan cara menginterpretasikan Kitab Suci. Magisterium Gereja Katolik berpegang kepada Tradisi Suci mengajarkan bahwa Kitab Suci pertama- tama harus diartikan secara literal, dan baru kemudian secara spiritual. Dengan kata lain, hanya jika suatu ayat tidak mungkin diartikan secara literal, baru dapat dinyatakan bahwa ayat itu hanya untuk diinterpretasikan secara spiritual. Untuk mengubah interpretasi menjadi arti spiritual saja pada ayat- ayat tersebut (Mzm 93:1, 96:10 dan 1 Taw 16:30), nampaknya masih merupakan perdebatan saat itu, karena pihak Gereja menghendaki buktinya terlebih dahulu. Penjelasan ini diperlukan, sebab jika tidak orang dapat menyangka bahwa apa yang ditulis dalam Kitab Suci adalah salah, padahal sebenarnya yang salah adalah interpretasinya. Tetapi untuk sampai pada kesimpulan ini, Gereja membutuhkan kepastian terlebih dahulu, bahwa ayat itu memang tidak dapat diartikan secara literal.

3. Prinsip science apa yang belum dapat dibuktikan oleh Galileo?

Ini sekilas sudah dijawab di point 1, dan secara lebih mendetail sudah pernah dijawab di sini, silakan klik.

4. Pandangan Gereja tentang Science?

Gereja tidak memusuhi science/ ilmu pengetahuan. Beato Paus Yohanes Paulus II pernah menyimpulkannya dalam pendahuluan surat ensikliknya yang berjudul Fides et Ratio: “Iman dan akal budi adalah seperti dua sayap yang dengannya roh manusia akan naik merenungkan kebenaran; dan Tuhan telah menempatkan di dalam hati manusia keinginan untuk mengetahui kebenaran – dengan perkataan lain, untuk mengetahui dirinya sendiri- sehingga, dengan mengetahui dan mengasihi Tuhan, para laki-laki dan perempuan dapat juga sampai kepada kepenuhan kebenaran tentang diri mereka sendiri (lih. Kej 33:18; Mz 27:8-9; 63:2-3; Yoh 14:8; 1 Yoh 3:2).
Dengan kata lain kerjasama antara akal budi dan iman ini penting untuk mencapai pemahaman akan Kebenaran, sebab jika hanya salah satu saja yang dipegang, maka hasilnya menjadi tidak relevan: menekankan iman saja, tanpa memperhatikan korelasinya dengan akal budi, mengakibatkan fanatisme yang ekstrim, yang memerosotkan moral, karena sampai dapat membunuh orang lain yang berbeda pandangan; dan sebaliknya orang yang menekankan akal budi saja, dapat terjebak pandangan rationalisme dan relativisme, dan ini juga akan memerosotkan moral manusia di sisi yang lain, karena yang menjadi tolok ukur adalah diri sendiri dan apa yang bisa diterima oleh akalnya sendiri saja; tanpa mengindahkan tentang kebenaran obyektif yang sudah diwahyukan Allah.
Nampaknya ini yang terjadi pada Stephen Hawking. Ia adalah seorang ilmuwan, yang hanya mau berpegang kepada pembuktian empiris sehingga ia sampai pada kesimpulan yang keliru, yaitu bahwa tidak ada Tuhan, dan segala sesuatu di jagad raya itu tercipta dengan sendirinya. Sesungguhnya prinsip ini sendiri bertentangan dengan self-evident principle (prinsip yang sudah pasti benar/ tidak perlu dibuktikan), bahwa ‘seseorang tidak dapat memberi jika ia sendiri tidak memilikinya terlebih dahulu’, atau bahwa ‘sesuatu hanya dapat diciptakan oleh sesuatu yang lebih tinggi tingkatannya’. Sebab apapun yang diciptakan manusia, tidak pernah lebih tinggi martabatnya daripada manusia; dan karena itu, pasti ada “Sang Pencipta” yang lebih tinggi tingkatannya dari manusia, yang dapat menciptakan manusia; dan “Sang Pencipta” ini bukannya ‘ketiadaan’ (nothingness) yang tingkatannya lebih rendah dari manusia, dan juga lebih rendah dari hewan maupun tumbuhan. Pengingkaran tentang prinsip ini sendiri menjadikan teori Hawking menjadi tidak cocok dengan akal sehat, justru karena berlawanan dengan prinsip akal sehat, dan bukan berlawanan dengan dogma atau iman.
Selanjutnya, silakan membaca di artikel- artikel ini, Bagaimana Membuktikan bahwa Tuhan itu Ada?, silakan klik; dan juga Bagaimana hubungan Teori Evolusi dengan Iman, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

tambahan:menurut sumber Wikipedia,Galileo galilei diperlakukan secara terhormat bahkan putrinya Virginia menjadi Biarawati Katolik dengan nama suster Maria Celeste silahkan klik disini 

atau mau penjelasan lain? klik disini


.

Film :LUTHER




Directed byEric Till
Produced byBrigitte Rochow
Christian P. Stehr
Alexander Thies
Written byCamille Thomasson
Bart Gavigan
StarringJoseph Fiennes
Alfred Molina
Jonathan Firth
Claire Cox
Peter Ustinov
Music byRichard Harvey
CinematographyRobert Fraisse
Distributed byR.S.
Release date(s)October 30, 2003
Running time124 minutes
LanguageEnglish


Sinopsis :


 Martin Luther adalah seorang biarawan muda yang sangat ingin menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan stelah terkena sambaran petir. Suatu saat ia mendapat tugas untuk mengantarkan dokumen ke Roma. Di Kota Roma ia sangat terkejut karena di kota yang merupakan [i]pusat Gereja itu, kemaksiatan tumbuh subur, bahkan untuk anggota dan pejabat gereja sekalipun. Digambarkan, di sana terdapat rumah bordil khusus untuk para biarawan, pencurian dan perjudian merjalela di seluruh penjuru kota, Paus(Julius ke?)* pun di-isukan memiliki gundik-gundik, bahkan yang lebih mencengangkan “keselamatan”(dalam bentuk Indulgensia, Patung-patung santo bertuah, Susu Perawan Maria, Duri dari kening Kristus, dll.) dijual di mana-mana dan hasil penjualannya merupakan “income” dari Gereja di Roma (mungkin yang kita sebut Basilika Konstantin, Vatikan) 

Sekembali dari Kota Roma, Martin mulai merasakan konflik batin yang sangat hebat. Ia mulai mempertanyakan doktrin-doktrin Gereja. Menurutnya doktrin-doktrin Gereja dibuat oleh para pejabat Gereja Roma dengan tujuan melanggengkan kekuasaan mereka dan memuaskan ambisi mereka akan harta dan kenikmatan duniawi. Martin sering pula dihadapkan pada doktrinGereja Roma yang menyatakan bahwa Allah sangat kejam dan menggunakan kekuasaannya dengan semena-mena bertentangan dengan ke-Kristenan yang diajarkan Kristus bahwa Allah adalah Maha Kasih. Oleh romo pembimbingnya, ia dikirim ke Jerman untuk mempelajari Alkitab lebih dalam lagi sehingga keragu-raguannya akan otoritas Gereja akan terjawab. Di Jerman Martin justru sering berdebat dengan para pengajarnya, ia bahkan banyak membuat artikel tentang penyelewengan yang dilakukan oleh Gereja Roma dalam merumuskan doktrin-doktrin.

Masa kepemimpinan Paus Leo X ?)* dimulai, berbagai program pembenahan Gereja-pun dicanangkan. Dimulai dengan direncanakannya pembangunan Basilika Santo Petrus dengan segala kemewahan dan kemegahannya. Dana pembangunan Basilika didapat dari berhutang kepada Kaisar Roma, dan pengembalian hutangnya adalah dengan pemungutan donasi (secara paksa) oleh para biarawan melalui penjualan Indulgensia. Martin yang mencermati hal ini, segera membuat artikel dan buku-buku yang berisi perlawanan terhadap doktrin-doktrin Gereja Roma tersebut serta kutukan-kutukan terhadap para pejabat Gereja di Roma. Tak pelak, tulisan-tulisan Martin mengundang perhatian para pejabat Gereja di Roma.

Martin menjalani persidangan di Roma dihadapat para pejabat Gereja, namun Martin mampu memberikan argumentasi akan isi artikel-artikel maupun buku-buku yang ditulisnya, yang menurutnya tidak dapat dipersalahkan menurut Alkitab. Sedangkan para pejabat Gereja Roma terlihat seperti sekumpulan orang bodoh yang dipermalukan. Adegan ini sangat mirip dengan saat Tuhan Yesus disidangkan di hadapan orang-orang farisi, hanya di film ini Tuhan Yesus-nya adalah Martin Luther.

Akhir cerita sudah dapat ditebak, Martin mendapat dukungan dari seluruh masyarakat yang pada saat itu merasa tertindas oleh Gereja Roma, terjadi amuk massa dan perusakan Gereja Roma, Martin menikah dengan mantan biarawati, dan Anggota jemaat dari Gereja-Gereja yang te-inspirasi oleh kiprahnya hingga kini berjumlah lebih dari 540 juta orang…
 [/i] 

Pertanyaan :Dear Tim Katolisitas,
Mao tanya. Sepertinya berhubungan dengan thread ini nih
Sola Scriptura kan dedengkot nya Om Martin Luther. Kmrn pas lagi di katakumen saya dibilang awal kenapa berdiri Protestan. Dan setau saya dan yang sekilas dah saya baca di katolisitas.org
1. Kata katekis saya Martin Luther di excomunication (salah kayanya ejaan saya) karena melawan paus. Jadi mao ga mao dia buat deh aliran baru
2. Dia nulis 95 keberatan atau thesis yang sudah dijawab ya kalau tidak salah ama Paus wkt itu, apakah karena itu dia dianggap melawan?
3. Teman saya bilang begini ketika saya mengutip kata2 Cardinal Newman yang bilang ” Untuk belajar sejarah berarti untuk berhenti jadi Protestan”. Dia bilang Si Martin Luther tau sejarah kok, dia Imam Katolik, kalau dia sampe mao pisah pasti ada sesuatu di sejarah itu. Saya jadi penasaran Martin Luther itu dikeluarin dari Gereja Katolik atau keluar sendiri atas insiatif sendiri atau kaya diusir secara halus (Exckomunikasi) jadinya keluar?
Terima kasih. Walau saya harusnya tanya ke pihak Protestan. Tp saya ngeliat Katolisitas cukup netral. Jadi saya tanya di sini. Tq

Jawaban:

Shalom 
Berikut ini adalah informasi yang dapat kami sampaikan sehubungan dengan pertanyaan anda:

1. Ekskomunikasi menyebabkan Luther tidak punya pilihan selain membuat aliran baru?

Pertama- tama, yang perlu diketahui adalah sangsi ekskomunikasi diberikan pertama- tama sebagai langkah sangsi yang menyembuhkan, dan bukan agar seseorang dapat membuat aliran baru. Dengan dinyatakannya bahwa status orang yang bersangkutan berada di luar Gereja (ex, artinya di luar, communion artinya persekutuan), maka orang itu dapat merenungkan pelanggarannya, dan suatu saat ia dapat kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Tentang ekskomunikasi sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Berikut ini adalah informasi yang saya sarikan dari berbagai sumber, terutama dari link New Advent Encyclopedia, selengkapnya  silakan klik di sini:
Martin Luther menerima hukuman ekskomunikasi dari Paus Leo X melalui bulla Decet Romanum Pontificem pada tanggal 3 Januari 1521. Langkah tersebut diambil oleh Paus setelah berbagai upaya rekonsiliasi dengan Luther tidak berhasil. Paus melalui bulla Exsurge Domine (15 Juni 1520, klik di sini) meminta Luther untuk menarik 41 pernyataannya yang salah, yang dinyatakan Luther dalam 95 theses dan tulisan- tulisannya yang lain. Luther diberi waktu enam puluh hari untuk menarik tulisannya, tetapi Luther menolaknya dengan membakar bulla tersebut.
Keputusan ini merupakan keputusan akhir Luther dari pernyataan- pernyataannya yang berubah- ubah: 1) Pada tanggal 3 Maret 1519, saat menulis kepada Paus Leo X: “Di hadapan Tuhan dan mahluk ciptaan-Nya, aku memberikan kesaksian bahwa saya tidak telah berniat ataupun kini berniat untuk menyentuh atau dengan intrik merendahkan otoritas Gereja Roma dan terhadap kekudusanmu.” (De Wette, op.cit, I, 239) 2) Dalam tulisannya kepada Spalatin tanggal 5 Maret 1519: “Bukan maksud saya untuk memberontak terhadap tahta Apostolik di Roma”; 3) Namun 10 hari kemudian tanggal 13 Maret, ia menulis, “Saya tidak tahu apakah Paus adalah antikristus atau rasul-Nya.” (De Wette, op. cit., I, 239).
Sebenarnya pihak otoritas Gereja Katolik telah beberapa kali memperingatkan Luther untuk berhenti mempublikasikan teorinya, sebelum sangsi ekskomunikasi diberikan. Di tahun 1518, Luther menulis tentang “Kotbah tentang Indulgensi dan Rahmat” dan pembelaan tentang ke 95 thesesnya dalam “Resolutiones” yang sampai ke Uskup Scultetus. Uskup kemudian memperingatkan Luther untuk tidak melanjutkan publikasinya, karena ajaran itu tidak sesuai dengan ajaran Gereja. Pada saat itu Luther setuju. Namun keadaan berubah, setelah keterlibatan Johann Eck, seorang pakar teologi dari Universitas Ingoldsadt. Eck diberi tugas oleh Uskup von Eyb untuk memeriksa theses yang dibuat Luther, dan Eck menyebutkan bahwa 18 butir di antaranya mengandung ajaran sesat/ heresi (seperti ajaran Jan Huss), melanggar kasih Kristiani, merendahkan order hirarki Gereja dan menghasilkan pemberontakan. Hal ini disebutkan dalam suatu manuskrip yang disebut “Obelisci”, yang disampaikan kepada Bapa Uskup, dan beredar di kalangan sendiri, tidak dipublikasikan. Namun manuskrip ini sampai ke tangan Luther, dan Luther menjadi sangat marah. Lalu Eck menulis kepada Luther untuk menjelaskan duduk perkaranya, dan agar Luther tidak marah dan tidak membawa hal ini menjadi pertentangan publik, entah melalui kuliah atau melalui tulisan. Namun Luther malah mengeluarkan tulisan “Asterici” (10 Augustus, 1518) yang menyebabkan pertentangan publik di Leipzig.
Dalam keadaan ini, Paus memanggil Luther untuk datang ke Roma, namun Luther menolak undangan ini. Ia berlindung pada Kaisar Maximilian untuk mengadakan ‘hearing‘/ pertemuan dan menunjuk para hakim untuk menyampaikan kasusnya. Pihak universitas kemudian menulis kepada Roma dan pihak nuncio, dengan mengatakan bahwa kesehatan Luther tidak memungkinkan dan jaminan bahwa Luther akan tetap setia kepada ajaran Gereja. Sementara itu Luther tetap melanjutkan kegiatannya menulis. Tulisannya “Resolutiones” dikirimkan ke Paus (tanggal 30 Mei 1518); dan disertai dengan surat pengantar yang menyatakan kesetiaan dan ketaatan kepada Tahta Suci. Namun ketulusan ini surat ini menjadi pertanyaan, sebab beberapa hari sebelumnya Luther memberikan kotbah yang menyulut kemarahan, tentang ekskomunikasi (16 May 1518) yang menentang bahwa persatuan dengan Gereja tidak terputus dengan ekskomunikasi melainkan dengan dosa saja.
Utusan dari pihak kepausan, bernama Cajetan, bertemu dengan Luther di Augsburg tanggal 11 Oktober 1519. Cajetan adalah seorang teolog yang sangat terkenal saat itu, yang mempunyai latar belakang ilmu pengetahuan, humanistik dan teologi yang sangat baik. Namun pertemuan itu gagal menghasilkan keputusan. Cajetan yang datang dengan kesabaran untuk memediasi keputusan, disambut oleh Luther dengan sikap defensif, kasar dan tidak sopan. Akhirnya Cajetan mengakhiri pertemuan dengan keputusan tidak akan memanggil kembali sampai Luther menarik kembali pernyataannya.
Selanjutnya yang menambah ‘kusutnya’ catatan sejarah adalah dikatakan adanya surat dari Paus ke Cajetan (23 Agustus 1518) yang isinya memohon bantuan Kaisar untuk menahan Luther karena ia menolak untuk datang ke Roma. Namun sebenarnya surat ini surat yang ditulis di Jerman (bukan di Roma), dan karenanya adalah surat palsu (Beard, op. cit., 257-258; Ranke, “Deutsche Gesch.” VI, 97-98). Namun demikian surat palsu ini tetap dicatat dalam biografi Luther.
Luther kembali ke Wittenberg setahun setelah peristiwa ia menempelkan thesesnya di pintu gereja di sana (31 Oktober 1518). Usaha untuk membuat Luther menarik kembali pernyataannya telah gagal, dan kini Luther dengan didukung oleh para pemimpin sipil, memohon kepada Paus untuk membuat konsili (28 November 1518). Namun kemudian Luther menolak untuk patuh kepada keduanya. Penunjukan Karl von Miltitz sebagai nuncio juga membuat keadaan menjadi tambah pelik, karena Miltitz adalah seorang yang kurang bijaksana. Ia seorang yang peminum berat, sehingga menempatkan dirinya sendiri di posisi yang tidak terhormat. Maka laporan Miltitz bahwa Luther akan diam, akan taat pada Paus, akan menerbitkan pernyataan publik tentang kesetiaannya kepada Gereja, dan menyerahkan kasusnya kepada uskup; diabaikan oleh Luther.
Selanjutnya debat teologis berlangsung antara pihak Luther (Luther dan Carlstadt) dan Johann Eck tanggal 27 Juni 1519 dengan membahas topik seperti rahmat Tuhan dan kehendak bebas (grace and freewill) dan hal supremasi kepemimpinan Paus. Tentang topikgrace and freewill, Eck tampil sebagai pemenang debat. Tentang supremasi Paus yang ditentang oleh Luther, Eck mengacu kepada bagaimana pandangan serupa oleh Wiclif dan Hus pernah dikecam oleh Konsili di Constance. Pernyataan ini membuat Luther akhirnya menyatakan bahwa konsili dapat salah. Terhadap hal ini Eck berkomentar singkat, “Kalau engkau percaya bahwa konsili yang sah dapat salah dan telah salah, maka bagi saya, kamu adalah seorang pagan dan publikan” (Köstlin-Kawerau, op. cit., I, 243-50). Luther pulang dalam keadaan terpukul atas turnamen yang mengecewakannya ini.
Luther kemudian memperoleh dukungan dari Melancthon, seorang humanist yang menghubungkan Luther dengan komrad bersenjata, Ulrich von Hutten dan Franz von Sickingen, yang memberikan perlindungan kepadanya. Maka selanjutnya Luther tidak takut lagi untuk terus menulis tentang ajaran- ajarannya yang anti klerikal, benci terhadap Roma dan Paus dan teorinya tentang Antikristus. Beberapa prinsip ajarannya adalah:
- Hanya Kitab Suci sajalah yang menjadi sumber kebenaran (Padahal Gereja mengajarkan sumber kebenaran adalah Kitab Suci dan Tradisi Suci)
- Kodrat manusia telah sama sekali rusak akibat dosa asal; maka manusia tidak lagi punya kehendak bebas. Apapun yang dilakukan apakah itu baik atau buruk bukan merupakan perbuatannya sendiri tetapi perbuatan Tuhan. (Padahal Gereja mengajarkan bahwa biar bagaimanapun manusia diciptakan menurut gambaran Allah, sehingga tetap ada kebaikan dalam diri manusia, walaupun oleh karena akibat dosa, manusia mempunyai kecenderungan berbuat dosa. Oleh karena manusia tidak rusak total, maka ia mempunyai kehendak bebas dan dapat bertanggungjawab atas perbuatannya. Pertanggungjawaban atas perbuatan kita inilah yang nanti diminta oleh Tuhan pada saat penghakiman terakhir)
- Iman saja yang menyelamatkan dan manusia diselamatkan dengan percaya bahwa Tuhan akan mengampuninya. Iman sedemikian bukan saja mengampuni dosa seluruhnya, tetapi juga menghapus segala akibatnya. (Padahal Gereja mengajarkan bahwa iman tidak boleh dilepaskan dari perbuatan, sehingga tidak dapat dikatakan hanya iman saja, namun iman, perbuatan, baptisan, pertobatan, semua itu diperlukan untuk keselamatan yang diberikan kepada kita karena rahmat Allah. Selanjutnya walaupun Allah mengampuni setiap kesalahan kita, namun ada konsekuensi yang harus kita tanggung akibat pelanggaran kita.)
- Hirarki dan imamat bukan ditetapkan oleh Tuhan dan tidak diperlukan, upacara penyembahan tidak penting dan tidak berguna; pakaian- pakaian gerejawi, ziarah, mati raga, kaul biara, doa bagi orang- orang yang sudah wafat, doa syafaat orang kudus tidak berguna bagi jiwa. (Padahal hal hirarki dan peran imamat jabatan nyata dalam Perjanjian Lama, dan juga dalam Perjanjian Baru, di mana Kristus memilih 12 rasul-Nya untuk melaksanakan misi-Nya)
- Semua sakramen ditolak, kecuali Baptisan, Ekaristi dan Pengakuan Dosa (Gereja mengajarkan adanya 7 sakramen)
- Imamat bersifat universal dan setiap orang Kristen dapat menjadi imam, tidak perlu ditahbiskan (Gereja mengakui adanya imamat bersama, namun juga imamat tertahbis).
- Tidak ada Gereja yang kelihatan atau satu Gereja yang didirikan Tuhan (Gereja berdasarkan Kitab Suci mengajarkan bahwa Tuhan Yesus mendirikan Gereja-Nya di atas Petrus/ Batu Karang, terlihat sebagai satu kesatuan).
Lalu Luther mengadakan pendekatan kepada Kaisar untuk mengadakan 3 hal: 1) untuk menghancurkan kuasa Paus, 2) untuk merampas hak milik Gereja, 3) untuk meniadakan perayaan- perayaan gerejawi, puasa dan hari libur, untuk menghapuskan Misa arwah, dst.
Di bulan April 1520, Eck ke Roma, dengan membawa tulisan- tulisan ajaran ini yang diterjemahkan dalam bahasa Latin. Hal- hal ini didiskusikan dengan seksama. Tanggal 15 Juli 1520 Paus mengeluarkan Bula “Exsurge Domine” yang secara resmi mengecam 41 proposisi yang disebutkan dalam tulisan- tulisan Luther, dan Luther diperintahkan untuk menghancurkan buku- buku yang memuat kesalahannya dan untuk menarik pernyataannya dalam 60 hari, atau ia menerima sangsi penuh akibat melanggar ketentuan Gereja. Tiga hari kemudian Eck ditunjuk sebagai komisi untuk menerbitkan Bula tersebut di Jerman. Penunjukan ini sesungguhnya tidak bijaksana, sebab sikap Luther kepadanya sudah negatif karena pengalaman sebelumnya. Kedatangan Eck di Jerman disambut protes dan penolakan dari pihak akademisi. Bula tersebut menjadi obyek kemarahan. Namun Bula itu tidak mempengaruhi Luther, malah menariknya lebih jauh, dan memberikan momentum untuk memberontak, “Bagi saya kematian sudah jelas: Saya membenci baik kesukaan ataupun kemarahan Roma; Saya tidak mau berdamai dengan dia, atau bahkan untuk bersekutu dengannya….” (De Wette, op. cit., 466).
Demikianlah, dengan perkataan ini (dan perkataan- perkataan selanjutnya yang menentang Paus) Luther menolak untuk menarik kembali ajaran- ajarannya yang tidak sesuai dengan ajaran yang sejak awal mula diajarkan oleh Gereja, dan dengan demikian ia memisahkan diri dari kesatuan dengan Gereja. Maka dalam hal ini, Luther tidak menanggapi pernyataan dari Bapa Paus “Exsurge Domine“, seperti seharusnya, yaitu dengan memeriksa ajarannya kembali dengan koreksi yang sudah diterimanya dari pihak kepausan. Sebaliknya, ia berkeras dengan ajarannya sendiri yang tidak sesuai dengan apa yang sudah diajarkan selama berabad- abad oleh para Bapa Gereja dan dilestarikan oleh pihak Magisterium.
Namun kemudian sejarah juga mencatat bahwa apa yang dilakukan Luther terhadap Bapa Paus (pihak otoritas) ternyata terjadi pada dirinya sendiri. Banyak dari para pengikutnya akhirnya meninggalkan dia, dan murid- muridnya yang terdekat, seperti Carlstadt dan Zwingli menentangnya, dan memisahkan diri darinya. Luther tidak melihat bahwa posisi mereka sesungguhnya menyerupai posisi dirinya sendiri yang menentang pihak otoritas Paus (Tulloch, “Leaders of the Reformation“, Edinburgh and London, 1883, 171). Ajaran Luther tentang “imamat universal seluruh umat” (tanpa perlunya imam tertahbis), dan bahwa “kongregasi umat sendiri mempunyai otoritas untuk menentukan doktrin/ajaran” kemudian terbukti malah memecah belah pengikutnya sendiri. Ia tidak menyadari bahwa untuk mendirikan suatu gereja baru, dasar yang teguh diperlukan, dan ini tidak dapat ditentukan sendiri oleh masing- masing kelompok. Otoritas yang mempersatukan diperlukan, dan sesungguhnya peran inilah yang dilaksanakan oleh Bapa Paus dalam Gereja selama ini. Luther, setelah melihat kenyataan akan banyaknya sekte yang terbentuk, akhirnya mengakui bahwa “jumlah sekte- sekte itu hampir sama dengan jumlahnya kepala yang ada (maksudnya jumlah orang)/ “nearly as many sects as there are heads” (De Wette, op. cit., III, 61).
Harus diakui bahwa adanya bermacam gerakan Protestantism tidak terpisahkan dari faktor temperamen Luther, di samping adanya perbedaan doktrin. Sejarah mencatat bahwa terperamen yang buruklah yang membawa Luther semakin terasing dari para pengikutnya. Carlstadt memisahkan diri darinya tahun 1522. Melancthon dengan nada sedih menyebutkan tentang sikap Luther yang kasar, mau menangnya sendiri seperti seorang tiran….. Zwingli, Œcolampadius juga tak luput dari cercaan Luther, yang menyebut mereka sebagai telah dipengaruhi oleh setan (Walch, op. cit., XX, 223). Demikian juga, Luther berseberangan dengan Calvin dalam hal doktrin tentang Ekaristi, dan keduanya tidak mencapai kata sepakat.
Selanjutnya, sampai akhir hidupnya Luther menentang kepausan, seperti terlihat dalam tulisan- tulisan terakhirnya di tahun 1545. Luther meninggal dunia pada tanggal 18 Februari 1546, tetap dalam keadaan keterpisahannya dengan Gereja Katolik. Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa Martin Luther diekskomunikasi bukan pertama- tama karena melawan Paus, tetapi karena ia berkeras mengajarkan suatu doktrin yang tidak sesuai dengan ajaran iman yang sudah berakar lama dalam Gereja, walaupun sudah berkali- kali diperingatkan untuk tidak melakukannya. Nah, setelah menerima ekskomunikasi, Luther bukannya menarik kembali ajarannya, tapi malahan berkeras memisahkan diri dan melawan Paus. Seperti telah pernah disampaikan, ekskomunikasi bukan bertujuan untuk mengusir, namun untuk menyembuhkan; dalam artian membuat yang bersangkutan merenungkan kesalahannya. Namun nampaknya ini tidak terjadi pada Luther. Luther sesungguhnya dapat memilih untuk memperbaiki ataupun membangun Gereja dari dalam, namun nampaknya, keadaan sudah sedemikian pelik dan ada banyak faktor yang mempengaruhi, sehingga bukan jalan ini yang dipilih oleh Luther.

2. Dengan menulis 95 theses Luther melawan Paus?

Tentang 95 theses/ keberatan Martin Luther sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Terhadap 95 theses (dan pernyataan- pernyataan Luther Lainnya)  pihak kepausan telah menanggapi dengan mengeluarkan bulla “Exsurge Domine” (silakan klik), yang menyatakan terdapat 41 pernyataan Luther yang salah/ keliru; dan Luther diminta untuk menarik pernyataan/ pengajaran yang salah itu dalam waktu 60 hari. Namun Luther menolak untuk menarik kembali ajarannya, dan bahkan ia membakar bulla tersebut. Oleh karena itu, maka pihak Vatikan akhirnya mengeluarkan bulla ekskomunikasi Martin Luther dan para pengikutnya, tanggal 3 Januari 1521. Seandainya Luther mau menarik pengajaran yang salah tersebut, atau mau datang ke Roma untuk menjelaskan kasusnya, maka sejarah akan mencatat kisah yang berbeda.

3. Tentang apakah Martin Luther mengetahui sejarah?

Pertama- tama harus diakui bahwa ada banyak sekali tulisan para Bapa Gereja, dan mempelajari tulisan- tulisan mereka bukan hal yang mudah dan cepat, sebab jumlahnya yang jauh melebihi lembaran Kitab Suci. Sehingga besar kemungkinan, orang memilih/ menjadi selektif tentang tulisan para Bapa Gereja yang hendak dipelajarinya. Demikianlah nampaknya yang terjadi pada Martin Luther, ia hanya mengambil tulisan/ ajaran Bapa Gereja yang nampaknya sejalan dengan pikirannya, tanpa melihat keseluruhan tulisan yang lain.
Luther lahir tahun 1483, dan di usia 19 tahun menjadi sarjana filosofi, dan di usia ke 22 meraih gelar Master (1505), ditahbiskan menjadi imam tahun 1507. Dua tahun berikutnya menjadi Baccalaureus Biblicus dalam Teologi. Di usia 30 tahun ia menjadi Doktor, dan dosen tentang Kitab Suci, dan kemudian dua tahun kemudian menjadi wakil vicar-general di Saxon. Sekilas memang ‘karir’ Luther melejit sangat cepat, namun itu tidak menjamin bahwa ia juga ahli sejarah dan mempunyai minat untuk mempelajari sejarah dan tulisan Bapa Gereja. Sebab dalam karya- karyanya, tulisan para Bapa Gereja relatif jarang dikutip, karena Luther menekankan ‘hanya Kitab Suci saja’. Kemudian Luther justru cenderung untuk mengabaikan ajaran Bapa Gereja yang dipelihara dengan setia oleh Magisterium Gereja dalam setiap Konsili. Hal ini kita ketahui melalui pandangan Luther yang menganggap bahwa konsili bisa salah. Pandangan ini sesungguhnya tidak masuk akal, karena Kitab Suci yang tidak mungkin salah itu sendiri sesungguhnya merupakan hasil penetapan Konsili. Sebab otoritas yang bisa salah tidak mungkin menghasilkan Kitab Suci yang tidak mungkin salah. Oleh karena itu, yang masuk akal adalah: Kitab Suci tidak mungkin salah, demikian juga otoritas yang menentukannya juga tidak mungkin salah, yaitu Magisterium yang dikepalai oleh Paus yang adalah penerus Rasul Petrus, sebab Kristus sendiri telah menjaminnya (Mat 16:19).
Dengan demikian, ucapan Cardinal John Henry Newman, tetap berlaku: “To be versed in history is to cease to be Protestant.” Sebab jika seseorang mau mempelajari sejarah Gereja, berikut dengan tulisan- tulisan para Bapa Gereja (Tradisi Suci) sejak abad awal sampai sekarang, maka ia akan semakin dapat melihat kepenuhan kebenaran di dalam Gereja Katolik.
Demikian tanggapan saya atas pertanyaan anda, semoga dapat berguna bagi kita semua.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Sumber dan Tanya Jawab seputar sejarah tentang Luther silahkan klik disini